In one dark afternoon... |
Jati gede merupakan waduk terbesar kedua setelah waduk
jatiluhur. Kata ortu, proyek ini sebenarnya proyek lama yang sempat terhenti dan
pembangunan gencar-gencaran dilakukan pada jaman Soeharto. Ternyata menurut om
google, proyek ini sudah dicanangkan sejak jaman Hindia Belanda loh.
Pembangunan waduk ini memang sempat menuai pro dan kontra, namun semenjak tahun
2015 proyek pembangunannya berlanjut kembali. Waduk jati gede ini diharapkan
dapat memberikan manfaat yang besar bagi Kab. Sumedang dan wilayah sekitarnya
sebagai pembangkit listrik, irigasi, dan tentunya kemajuan pariwisata, serta
manfaat lainnya yang akan didapat dari sebuah waduk.
Tahun 2015 silam, saya diajak berkunjung oleh keluarga ke
bendungan Jati Gede yang terletak di daerah Tomo, Sumedang.
(non-pro-images will be updated soon)
Mengunjungi Bendungan Jati Gede sepertinya lebih baik agak
pagi. Kalau pun berencana untuk mengunjungi bendungan tersebut di siang hari,
make sure that you have full of energy untuk menahan sinar matahari, karena untuk
mengeksplor setiap sudut spotnya lumayan juga kalau jalan kaki. Alternatif yang
bisa dilakukan yaitu naik odong-odong kereta 'mbe'. Hehe.. seru juga loh
ngerasain apa yang anak kecil rasain saat naik odong-odong, apalagi naiknya
juga bareng krucil-krucil. Hmm histeria rempong to the max.
Disana kita bisa melihat pemandangan waduk Jati Gede yang
keren dengan pesona air yang tenang dan hamparan perbukitan yang
mengelilinginya. Sungguh menyejukkan mata serta hati. Sayangnya demi tercipta
pemandangan tersebut, ada lahan yang tergenang, menyimpan sejuta kenangan. Bagaimana tidak, dulu dibawah permukaan itu ada pemukiman
warga, lahan-lahan pendukung nafkah, tempat ibadah, sekolah-sekolah, situs
budaya, dan tempat penunjang kehidupan lainnya. Semuanya benar-benar sudah
tidak ada, tidak terlihat lagi, dan membuat penasaran. Bagaimana bisa tenggelam
begitu? Bagaimana dengan orang-orang yang dulu tinggal disana? Akhirnya rasa
penasaran itu sirna setelah mengunjungi waduk Jati Gede di daerah Wado awal 2017
ini.
Untuk orang diluar Sumedang, rute menuju tempat itu sepertinya
lumayan jauh, apalagi dari Kota Majalengka, memakan waktu kurang lebih 2,5 jam
dengan jalan yang berkelok kelok. Tapi dibalik perjalanan yang lumayan itu ada pemandangan
yang super worth to see, karena sepanjang perjalanan menuju waduk Jati Gede ini
kita bisa melihat pemandangan yang asri dengan udara yang begitu sejuk.
Hampir menuju lokasi, kita bisa melihat ada jembatan tempat
muda-mudi bercengkrama dan ber-selfie ria. Setelah itu kita bisa langsung masuk
ke area sana dengan membayar Rp. 5000,- saja untuk semobil dan seinget saya pas
pulangnya juga kita bayar lagi Rp. 5000,-.
Begitu memasuki kawasan ini, terlihat jejak lahan yang sudah
dibebaskan bersama dengan puing-puing reruntuhan yang masih tersisa. Ada serpihan-serpihan
bangunan, beberapa tembok bangunan yang masih berdiri kokoh dan setengah kokoh,
pepohonon yang tinggal rantingnya saja, pepohonan yang tumbang, dan
serpihan-serpihan lainnya yang cukup berserakan terutama di dekat area waduk.
Di waduk bagian daerah Wado ini pengunjung bisa berkeliling dengan
menggunakan perahu atau sampan. Perahu pun sudah berjajar disana dan tinggal
kita pilih saja mana yang mau ditumpangi. Sebelumnya ada beberapa orang yang turun
dari perahu dan membawa sejaring ikan waduk. Ternyata mereka sudah berkeliling
waduk sambil menangkap ikan dan dibantu oleh nelayan yang membawa mereka
berkeliling. Untuk bisa menikmati waduk sambil menagkap ikan, bisa membayar Rp.
200.000,-. Sayangnya tujuan kita ke waduk ini bukan untuk cari ikan, jadi kita cari
pelayar lain yang bisa membawa kita berkeliling waduk dengan perahunya. Kebetulan
ada empat orang lainnya yang akan menaiki perahu tersebut. Jadilah kita
ramai-ramai dalam satu perahu tersebut.
Dalam penjelajahan waduk ini, kita bisa mengulik pesona Jati
Gede. Deruan mesin perahu yang menemani pun bisa kita nikmati. Air waduk yang
agak berwarna kecoklatan begitu tergenang dengan tenangnya dan terasa begitu
dingin, sedingin atmosfernya pada saat itu. Disana masih ada reruntuhan dan
puing-puing yang mengambang tersebar dipinggir waduk. Agak ke tengah lagi, ada
juga bangunan yang tinggal atapnya saja, pohon-pohon kelapa yang sudah
tenggelam, pohon-pohon kelapa yang hanya terlihat daun keringnya, dan
puing-puing sejenisnya yang mengambang. Sejauh mata memandang, terlihat juga
hamparan bukit hijau asri Sumedang yang begitu menyejukkan. Di bawah perahu,
kita bisa menerawang lahan-lahan yang sudah tenggelam yang entah permukaannya
jadi seperti apa. Yang jelas kehidupan di permukaan itu sekarang telah hilang
menjadi kenangan yang tergenang tenggelam.
Ketika hampir sampai tujuan dan perahu akan balik arah, keempat
orang yang seperjalanan dengan kami ternyata mengakhiri perjalanannya. Barulah kita
sadar kalau keempat orang tersebut adalah warga yang rumah dan lahannya sudah
direlokasi dan mereka hanya menyebrang saja. Pantas saja diperjalanan ada
seorang Bapak yang informatif saat berkomunikasi dengan kita. Ternyata
sebagian rumah yang sudah ditenggelamkan itu telah direlokasi ke tempat itu, di
sebuah bukit yang masih jarang penghuninya, bahkan untuk berbelanja dan
bersekolahpun harus menyebrang dulu. Orang yang membawa perahu pun ternyata merupakan
sseorang yang rumahnya direlokasi juga. Ia tak sungkan untuk menunjukkan lokasi
dimana ia tinggal dulu bersama lokasi rumah dan juga kebun kakeknya. Jadi,
katanya beberapa orang pun beralih profesi menjadi nelayan dan pengendara perahu
disana. Mendengar ceritanya, kini kenangan sudah menjadi genangan.
Hari pun semakin sore dan perahu tiba di titik awal
keberangkatan. Kita pun segera bergegas. Oh iya, kita berempat hanya membayar
Rp. 50.000,- untuk berkeliling naik perahu tersebut. Kata mamangnya kebesaran,
jadi gak tau pasti bayarnya harus berapa. Kalau ingin sekedar ngopi atau jajan,
ada warung juga disana. Kalau ingin beli ikan Jati Gede juga bisa disana.
Setelah pelayaran mini itu, kita melihat jalan yang memang
sudah terputus aksesnya, tidak bisa dilalui lagi karena hamper secuil jalan
yang belum tenggelam. Disampingnya juga masih banyak sekali puing-puing
reruntuhan yang berserakan juga perahu yang sepertinya sudah tidak lagi
berfungsi. Konon didekat puing-puing yang hampir tergenang tersebut pernah ditemukan
jenazah korban banjir bandang Garut. Ini membuat saya bertanya, bagaimana bisa
ya? Ternyata aliran waduk Jati Gede ini berasal dari sungai terbesar di Garut
yaitu sungai Cimanuk. Oh. Pantesan. Seketika pertanyaan saya terjawab.
Begitulah sepenggal cerita menapaki jejak Waduk Jati Gede.
Proyek ini diharapkan pemerintah akan selesai dan seluruh fungsinya juga diharapkan
bisa optimal di tahun 2019 nanti. Yah mungkin di tahun itu Jati Gede dari
berbagai sisi Sumedang akan mengalami banyak perubahan. Semoga berdampak
positif untuk wilayah sekitar.
2 komentar
Ternyata seperti itu ya.
ReplyDeleteTerima kasih dan salam kenal
Begitulah sist.. salam kenal juga 😊
Delete